Menurut Sapardi Djoko Damono,
gagasan asli pengadilan Puisi datang dari Darmanto pada tahun 1972, Darmanto
mengumumkan gagasannya itu dalam karangan yang berjudul “ Tentang Pengadilan
Puisi “
Menimbang perlunya
menghembuskan lagi udara segar dalam kehidupan sastra puisi kita, dan menuntut
yang adil dan wajar dari kondisi sastra kita, dan menuntut yang adil dan wajar
dari kondisi sastra kita, membersihkan semak dan belukar yang menghambat
langkah dari kecenderungan yang sedang tumbuh sekarang ; berdasarkan KUHP
(kitab undang – undang hukum puisi ) , seperti tejelma dalam pasal demi pasalnya
yang merupakan pencerminan dari aturan permainan sehat; dengan ini kami sangat
bertindak selaku Jaksa Penuntut Umum dalam
“ Peradilan Puisi” Kontemporer”, mengajukan tuntutan sebagai berikut:
1.
Para
kritikus yang tidak mampu lagi mengikuti perkembangan kehidupan puisi mutakhir,
khususnya H.B Jasssin dan M.S. Hutagalung harus “dipensiunkan” dari peranan
yang pernah mereka miliki.
2.
Para
editor majalah sastra, khususnya Horison (Sapardi Djoko Damono) dicutibesarkan.
3.
Para
penyair established (mapan): Subagio, Rendra, Goenawan dan sebangsanya (dan
lain-lain) dilarang menulis puisi dan epigon-epigonnya harus dikenakan hukum
pembuangan. Dan bagi inkarnasinya dibuang ke pulau yang paling terpencil.
4.
Horison
dan Budaya Jaya harus dicabut “SET” nya dan yang sudah terbit selama ini
dinyatakan tidak berlaku. Dan dilarang dibaca oleh peminat sastra dan
masyarakat umum sebab akan mengisruhkan perkembangan sastra puisi yang kita
harapkan sehat dan wajar.
Pada dasarnya “ pengadilan
puisi “ yang diadakan di Bandung tidak banyak memberi kesan kepada saya.
Pertama – tama saya telah biasa mendengar berbagai macam pertanyaan, statement
yang terlalu umum dan hampir tidak ada artinya karena sering tidak didukung
oleh argumentasi dan pembuktian – pembuktian seperti misalnya : tak ada puisi
setelah Chairil Anwar, Kritikus Indonesia tidak ada, H.B. Jassin bukan seorang
kritikus dan banyak lagi, tetapi tanpa keterangan dan penjelasan tentu tidak
ada artinya pernyataan – pernyataan itu. Pernyataan itu sama saja dengan
pernyataan lain : tidak ada pengarang di Indonesia, bahkan juga pernyataan :
sebenarnya tidak ada orang atau manusia di Indonesia dan ucapan – ucapan
ekstrim lainnya.
Kebutuhan akan mitos praktis
untuk mempertahankan eksistensi sebagai berhala – apalagi pada masa – masa
surut puisi Indonesia yang biasa disebut sebagai malaise itu. Sajak – sajak
sosial Taufiq Ismail, W.S. Rendra, dan seterusnya, diiringi dengan pembacaan
sajak di kampus – kampus telah membawa perspektif baru tentang kemungkinan
Indonesia. Kita tidak butuh lagi mitos untuk mempertahankan eksistensi puisi,
kata sementara orang. Tapi orang lain bilang : Baik kita bikin mitos – mitos
baru tentang W.S. Rendra, dan seterusnya. Atau, agak sesuai dengan makin popnya
sajak – sajak Abdul Hadi bikin Abdul Hadi Fans Club, dan seterusnya.
Pada keduanya kita saksikan,
betapa malang kritik sastra kita. H.B. Jassin, yang sering dibilang terlalu mau
mendidik dengan selalu beri senyum pada tiap akademisi, terlalu analitis.
Muncul keinginan – keinginan baru untuk menulis kritik sastra Ganzheit, kritik
sastra dengan metode merunut, menemukan intentio creatice dari pengarangnya.
Namun demikian lihat, lebih banyak kritikus yang bertindak sebagai pejabat –
pejabat pengadilan : merumuskan tuduhan, mendengarkan saksi – saksi,
mendengarkan pembelan, kemudian memutuskan hukuman.
Jadi, apa salahnya kita minta
pengadilan untuk puisi. Pertama – tama, tentu saja untuk mensahkan hak hidup
puisi Indonesia. Ini sangat penting, sebab dengan demikian penyair – penyair
sudah tidak lagi dikejar – kejar pertanyaan tuntutan : Relevankah kehadiran
puisi di Indonesia? Kemudian yang kedua, ini penting, sebab dengan demikian
penyair – penyair akan mengerti mana yang boleh ditulis atau dipuisikan dan
mana yang tidak. Yakni untuk mencegah terjadinya kerusuhan – kerusuhan di dalam
masyarakat, akibat adanya hal – hal yang tak perlu dipuisikan sebab efeknya
negatif terhadap masyarakat. Kemudian yang ketiga, tentu saja pengadilan ini
berhak menjatuhkan hukuman pada penyair – penyair yang suka mengacau ; tentu
saja hukuman mental, sebab puisi terkena hukuman ini. Sajak –sajak kotor dan
menghina agama, tentu akan menyebabkan si penyair dituntut.
Kalau demikian halnya, tentu
diperlukan juga adanya Dewan Pertimbangan Kenaikan Pangkat Penyair. Untuk
kenaikan pangkat, tentu saja dipertimbangkan pertama – tama prestasi; sebab,
ini tuntutan yang demokrasis sesuai dengan hukum – hukum terbaru masyarakat
modern dalam masalah “ bekerja “. Tentu saja bukan prestasi maksimal kebetulan,
tapi prestasi yang konsisten pada suatu periode. Ini penting, sebab bisa
menjaga supaya penyair yang kebetulan Cuma bisa sekali dua kali menulis sajak
naik, tidak kecepatan naik pangkat dibanding penyair yang sajak – sajaknya
lebih banyak dan memiliki kualitas tetap tinggi, namun sedikit sedikit dibawah
prestasi maksimal penyair insidental tersebut. Jadi, prestasi didasarkan pada
kualitas dan kuantitas hasil puisi dalam suatu span of time.pertimbangan kedua,
tentunya jasa terhadap perkembangan masyarakat.
Dewan Pertimbangan hendaknya
ini mencantumkan juga predikat promosi penyair. Misalnya, “cemerlang”,”biasa”,
atau “kurang”. Di samping tentu saja mencantumkan aliran atau mode apa yang
dianut penyair. Misalnya, Abdul Hadi W.M. naik dari magang ke calon, dengan
predikat “ cemerlang “ aliran : romantik ; mode : tamasya alam. Kemudian untuk
kenaikan Abdul Hadi dari pangkat calon ke hampir penyair, predikat “ biasa “ ;
aliran : happening ; mode : “pop”.
Demikianlah kelas – kelas
dalam kepenyairan bisa ditertibkan, honorarium bisa ditertibkan, sanksi –
sanksi kepangkatan bisa ditertibkan. Pada pokoknya, administrasi kepenyairan di
Indonesia : beres. Kalau seorang turis ingin ketemu penyair kelas II, tak usah
ribut – ribut cari ke Yogya atau Semarang ; cukup ke Jakarta dia akan ketemu
banyak. Atau kalau seorang penerbit ingin membuat iklan puitis, jangan sampai
keliru alamat minta dari penyair kelas I. Job description dari tiap penyair
akan jelas dalam suatu katalogus.
Sekarang mari kita ingat
kembali Chairil Anwar. Dalam masalah kelas, bisakah dia dibilang kelas I?
Karena saingan – saingannya masih sedikit, misalnya Amir Hamzah, Sitor
Situmorang, W.S. Rendra, maka nampaknya, boleh – boleh saja kita golongkan
kelas I. Tapi susahnya, nanti kalau misalnya anak saya jauh lebih bagus dari
Chairil menulis sajaknya, apa ia hanya akan dikelaskan sebagai penyair kelas I?
Tentu saja takkan rela. Perlu kelas 0. Nah. Kalau begitu, bagaimana penyair –
penyair yang nanti mungkin lebih bagus dari anak-anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar