Mengintip makam Le Daen Mangkona
Pada
hari sabtu, 8 April 2017 saya beserta teman teman saya prodi Satra Indonesia
2016 pergi bersama – sama ke salah satu tempat bersejarah di Samarinda. Kami
mengadakan kunjungan ke makam La Mohang Daeng Mangkona yang lokasinya berada di
Samarinda Seberang.
Pukul 08.00 Fakultas kami telah
dipenuhi dengan anak-anak Sastra Indonesia 2016. Namun ternyata, kita baru bisa
pergi sekitar jam 10 siang karena dosen kita yaitu kak Dahri ada sedikit
kendala sehingga beliau telat datang ke kampus. Setelah tiba di kampus, dosen
kami segera mengumpulkan kami untuk membacakan absen dan berdoa untuk
keselamatan diperjalanan kelak.
Perjalanan kami menghabiskan waktu
sekitar 1 jam lebih atau bahkan hampir 2 jam jika terjadi kemacetan. Kita tetap
antusias dan merasa bahagia walaupun teriknya sinar matahari membakar kulit
kami.Dan akhirnya kami tiba di makam La Mohang Daeng Mangkona yang berada di
jalan Daeng Mangkona Masjid, Samarinda Seberang.
Sesampainya di makam, kami memarkir
kendaraan kami dengan rapi dan kami pun masuk ke dalam pendopo yang besar.Di
dalam pendopo tersebut terdapat makam La Daeng Mangkona beserta istrinya. Kami
pun dipersilahkan duduk di dalam pendopo ( lesehan ) oleh juru kunci makam Le
Daeng Mangkona yaitu bapak Abdillah. Beliau diamanahkan untuk menjaga dan
merawat makam pendiri kota Samarinda ini setelah ayah dan kakaknya meninggal.
1. Legenda
1.
Legenda adalah cerita prosa rakyat yang dianggap oleh pemilik cerita sebagai
sesuatu yang benar-benar terjadi. Oleh karena itu, legenda sering kali
dipandang sebagai “sejarah” kolektif .walaupun demikian, karena tidak tertulis
maka kisah tersebut telah mengalami distorsisehingga sering kali jauh berbeda
dengan kisah aslinya. Oleh karenanya, jika legenda hendak digunakan sebagai
bahan untuk merekontruksi sejarah maka legenda harus bersih dari unsure-unsur
yang mengandung sifat-sifat folklor (sejarah, 2009 : 37).
2.
Legenda adalah dongen yang berisi cerita asal mula suatu tempat ( Bahasa
Indonesia SMP , 2004 : 20 ).
3.
Legenda yaitu kata latin yang berarti yang harus dibacakan :
-
Cerita religious mengenai Yesus, Maria atau seorang kudus yang dari saat ke
saat harus dibicarakan di gereja atau di kamar makan para rahib dengan maksud
agar para pendengar makin yakin akan kesaktian tokoh yang bersangkutan sehingga
teladan hidupnya diikuti.
-
Legendaris (tokoh legendaries), ajektif dari kata legenda yang lebih luas
lingkupnya. Karena tradisi lisan atau tertulis maka sekitar seorang tokoh
historis dapat disusun sejumlah cerita yang mengagungkan kepahlawanannya dan
yang sifat historis sukar dicek(misalnya : Hang Tuah, Gadjah Mada, raja Arthur, Faust) ( Pemandu di Dunia SASTRA,
1986 :79 ).
4.
Legenda menurut pelajaran kesusastraan Indonesia adalah salah satu bagian dari
dongeng yang menceritakan tentang asal-usul binatang, tempat atau tumbuhan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, legenda adalah cerita yang berisikan
tentang sejarah ( Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia , 2007 :156 ).
2. Jenis- Jenis Legenda
Jan
Haroid Brunvald menggolongkan legenda menjadi empat kelompok, yaitu legenda
keagamaan, legenda alam gaib, legenda perseorangan, dan legenda setempat.
1.
Legenda Keagamaan
Legenda yang ceritanya berkaitan
dengan kehidupan keagamaan disebut dengan legenda keagamaan.Legenda ini
misalnya legenda tentang orang- orang tertentu.Kelompok tertentu misalnya
cerita tentang para penyebar Islam di Jawa.Kelompok orang-orang ini di Jawa
dikenal dengan sebutan walisongo. Mereka adalah manusia biasa, tokoh yang
memang benar-benar ada, akan tetapi dalam uraian ceritanya ditampilkan sebagai figur-figur
yang memiliki kesaktian. Kesaktian yang mereka miliki digambarkan diluar batas
– batas manusia biasa.
Sebutan
wali songo ada yang menafsirkan bukan berarti sembilan dalam arti jumlah,
tetapi angka sembilan itu sebagai angka sakral.Penafsiran ini didasarkan pada
kenyataan adanya para tokoh penyebar Islam yang lainnya.Mereka berada di
tempat-tempat tertentu. Masyarakat setempat biasanya memandang tokoh tersebut
kedudukannya sama atau sederajat dengan tokoh wali yang sembilan orang.
Tokoh-tokoh tersebut seperti Syekh Abdul Muhyi, Syekh Siti Jenar, Sunan
Geseng, Ki Pandan Arang, Pangeran Panggung, dan lain-lain.
2.
Legenda Alama Gaib
Bentuk
kedua yaitu legenda alam gaib.Legenda ini biasanya berbentuk kisah yang
dianggap benar-benar terjadi dan pernah dialami seseorang.Fungsi legenda
semacam ini adalah untuk meneguhkan kebenaran “takhyul” atau kepercayaan
rakyat.Jadi, legenda alam gaib adalah cerita-cerita pengalaman seorang dengan
makhluk-makhluk gaib, hantu-hantu, siluman, gejala-gejala alam gaib, dan
sebagainya.
Contoh
legenda alam gaib misalnya, di Bogor Jawa Barat ada legenda tentang mandor
Kebun Raya Bogor yang hilang lenyap begitu saja sewaktu bertugas di Kebun
Raya.Menurut kepercayaan penduduk setempat, hal itu disebabkan ia telah
melangkahi setumpuk batu bata yang merupakan bekas-bekas pintu gerbang Kerajaan
Pajajaran. Pintu gerbang itu, menurut kepercayaan penduduk setempat, terletak
di salah satu tempat di kebun raya.Tepatnya tidak ada yang mengetahui.Oleh
karenanya, penduduk disana menasihati para pengunjung Kebun Raya, agar jangan
melangkahi tempat antara tumpukan-tumpukan batu bata tua, karena ada
kemungkinan bahwa di sanalah bekas pintu gerbang kerajaan zaman dahulu itu.
Jika kita melanggarnya, maka kita akan masuk ke daerah gaib dan tidak dapat
pulang lagi ke dunia nyata.
Contoh
lainnya yaitu kepercayan terhadap adanya hantu, gendruwo, sundel bolong
serta nyi blorong.
3. Legenda Perorangan
Legenda
perseorangan merupakan cerita mengenai tokoh-tokoh tertentu yang dianggap
benar-benar terjadi. Di Indonesia legenda semacam ini banyak
sekali.misalnya Sabai nan Aluih dan Si Pahit Lidah dari Sumatra, Si Pitung dan
Nyai Dasima dari Jakarta, Lutung Kasarung dari Jawa Barat, Rara Mendut dan Jaka
Tingkir dari Jawa Tengah, Suramenggolo dari Jawa Timur, serta Jayaprana dan
Layonsari dari Bali.
4.
Legenda Lokal/Setempat
Legenda
lokal adalah legenda yang berhubungan dengan nama tempat terjadinya gunung,
bukit, danau, dan sebagainya. Misalnya, legenda terjadinya Danau Toba di
Sumatra, Sangkuriang (legenda Gunung Tangkuban Parahu) di Jawa Barat, Rara
Jonggrang di Yogyakarta dan Jawa Tengah, Ajisaka di Jawa Tengah, dan Desa
Trunyan di Bali (buku sejarah kelas 10
SMA, 2004).
Sejarah La Mohang Daeng Mangkona
Berdirinya kota Samarinda ini tidak
luput dari jasa seseorang yang telah membangun dan membuat kota Samarinda ini
menjadi hidup. La Mohan Daeng Mangkona adalah tokoh yang sangat berpengaruh
mendirikan kota Samarinda. La Mohang Daeng Mangkona adalah
seorang tokoh penting dalam cikal-bakal berdirinya Kota Samarinda di provinsi
Kalimantan Timur saat ini. Daeng Mangkona mendirikan pemukiman di Tanah Rendah
bersama rombongannya dari tanah Wajo pada tahun 1668 dan dari situlah awal mula
perkembangan kota Samarinda.
La
Mohang Daeng Mangkona beserta rombongan dari Wajo memilih meninggalkan kampung
halamannya daripada harus tunduk pada pemerintahan kolonial Belanda yang waktu
itu sudah menguasai Kerajaan Gowa akibat Perjanjian Bongaya. Daeng Mangkona
memilih daerah Pulau Kalimantan dan singgah di wilayah Kesultanan Kutai
Kartanegara ing Martadipura.Setelah meminta izin pada sultan Kutai waktu itu,
Daeng Mangkona beserta rombongan diizinkan untuk menetap di suatu daerah
bernama Tanah Rendah.Sejak saat itulah, wilayah Tanah Rendah didiami oleh Daeng
Mangkona dan mengembangkan daerah Tanah Rendah menjadi sebuah pusat perdagangan
maupun sebagai pelabuhan singgah.Tepatnya pada tanggal 21 Januari
1668 Kota Samarinda mulai didirikan oleh La Mohang Daeng Mangkona.
Sekitar
tahun 1668, Sultan yang di Kerajaan Kutai memerintahkan Pua Ado bersama
pengikutnya yang asal tanah Sulawesi membuka perkampungan di Tanah
Rendah.Pembukaan perkampungan ini dimaksud Sultan Kutai, sebagai daerah
pertahanan dari serangan bajak laut asal Filipina yang sering melakukan
perampokan di berbagai daerah pantai wilayah kerajaan Kutai Kartanegara.Selain
itu, Sultan yang dikenal bijaksana ini memang bermaksud memberikan tempat bagi
masyarakat Bugis yang mencari suaka ke Kutai akibat peperangan di daerah asal
mereka. Perkampungan tersebut oleh Sultan Kutai diberi nama Sama Rendah. Nama
ini tentunya bukan asal sebut. Sama Rendah dimaksudkan agar semua penduduk,
baik asli maupun pendatang, berderajat sama. Tidak ada perbedaan antara orang
bugis, kutai, banjar dan lainnya.
Dengan
rumah rakit yang berada di atas air, harus sama tinggi antara rumah satu dengan
yang lainnya, melambangkan tidak ada perbedaan derajat apakah bangsawan atau
tidak, semua "sama" derajatnya dengan lokasi yang berada di sekitar
muara sungai yang berulak dan di kiri kanan sungai daratan atau
"rendah". Diperkirakan dari istilah inilah lokasi pemukiman baru
tersebut dinamakan Samarenda atau lama-kelamaan ejaan Samarinda. Istilah atau
nama itu memang sesuai dengan keadaan lahan atau lokasi yang terdiri atas
dataran rendah dan daerah persawahan yang subur.
Kesimpulan
dan Harapan
Kesimpulan
dari semuanya adalah pendiri kota Samarinda La Daeng Mangkona adalah seorang
yang rendah hati dan tidak pernah membedakan ras / suku. Meskipun beliau adalah suku bugis namun
beliau tetap menyamaratakan semua suku, bisa terlihat dari nama kota sendiri
yaitu Samarinda yang berasal dari sama rendah. Suku asli beliau adalah bugis
bukan berasal dari Kalimantan namun beliau tetap berusaha menjadi pemimpin yang
bijaksana untuk rakyat-rakyatnya.
Harapan
saya pada sejarah La Daeng Mangkona lebih dipublikasikann dan disosialisasikan
kepada masyarakat agar masyarakat mengetahui sosok yang sangat berjasa pada
kota Samarinda. Untuk makam La Daeng Mangkona ini semoga kedepannya lebih
mendapat penanganan yang lebih baik sehingga banyak masyarakat yang berkunjung
kesana.
Referensi
- Marhijanto, Drs. Bambang. 2004. Bahasa Indonesia SMP. Surabaya:
GitaMedia Press
- Anindita, A. 1986. Pemandu di Dunia SASTRA. Yogyakarta: Kanisius
- Suryanto, Alex dan Haryanta, Agus. 2007.
Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia. Surabaya: Erlangga
- (Buku Sejarah kelas 10
SMA, 2004 : 20)
- (Sejarah, 2009 : 37)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar