Selasa, 18 April 2017

Mengintip makam La Daeng Mangkona

Mengintip makam Le Daen Mangkona
Pada hari sabtu, 8 April 2017 saya beserta teman teman saya prodi Satra Indonesia 2016 pergi bersama – sama ke salah satu tempat bersejarah di Samarinda. Kami mengadakan kunjungan ke makam La Mohang Daeng Mangkona yang lokasinya berada di Samarinda Seberang.
            Pukul 08.00 Fakultas kami telah dipenuhi dengan anak-anak Sastra Indonesia 2016. Namun ternyata, kita baru bisa pergi sekitar jam 10 siang karena dosen kita yaitu kak Dahri ada sedikit kendala sehingga beliau telat datang ke kampus. Setelah tiba di kampus, dosen kami segera mengumpulkan kami untuk membacakan absen dan berdoa untuk keselamatan diperjalanan kelak.
            Perjalanan kami menghabiskan waktu sekitar 1 jam lebih atau bahkan hampir 2 jam jika terjadi kemacetan. Kita tetap antusias dan merasa bahagia walaupun teriknya sinar matahari membakar kulit kami.Dan akhirnya kami tiba di makam La Mohang Daeng Mangkona yang berada di jalan Daeng Mangkona Masjid, Samarinda Seberang.


            Sesampainya di makam, kami memarkir kendaraan kami dengan rapi dan kami pun masuk ke dalam pendopo yang besar.Di dalam pendopo tersebut terdapat makam La Daeng Mangkona beserta istrinya. Kami pun dipersilahkan duduk di dalam pendopo ( lesehan ) oleh juru kunci makam Le Daeng Mangkona yaitu bapak Abdillah. Beliau diamanahkan untuk menjaga dan merawat makam pendiri kota Samarinda ini setelah ayah dan kakaknya meninggal.



 Definisi dan Jenis-Jenis Legenda
1.    Legenda
1. Legenda adalah cerita prosa rakyat yang dianggap oleh pemilik cerita sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi. Oleh karena itu, legenda sering kali dipandang sebagai “sejarah” kolektif .walaupun demikian, karena tidak tertulis maka kisah tersebut telah mengalami distorsisehingga sering kali jauh berbeda dengan kisah aslinya. Oleh karenanya, jika legenda hendak digunakan sebagai bahan untuk merekontruksi sejarah maka legenda harus bersih dari unsure-unsur yang mengandung sifat-sifat folklor (sejarah, 2009 : 37).
2. Legenda adalah dongen yang berisi cerita asal mula suatu tempat ( Bahasa Indonesia SMP , 2004 : 20 ).
3. Legenda yaitu kata latin yang berarti yang harus dibacakan :
- Cerita religious mengenai Yesus, Maria atau seorang kudus yang dari saat ke saat harus dibicarakan di gereja atau di kamar makan para rahib dengan maksud agar para pendengar makin yakin akan kesaktian tokoh yang bersangkutan sehingga teladan hidupnya diikuti.
- Legendaris (tokoh legendaries), ajektif dari kata legenda yang lebih luas lingkupnya. Karena tradisi lisan atau tertulis maka sekitar seorang tokoh historis dapat disusun sejumlah cerita yang mengagungkan kepahlawanannya dan yang sifat historis sukar dicek(misalnya : Hang Tuah, Gadjah Mada, raja Arthur, Faust) ( Pemandu di Dunia SASTRA, 1986 :79 ).
4. Legenda menurut pelajaran kesusastraan Indonesia adalah salah satu bagian dari dongeng yang menceritakan tentang asal-usul binatang, tempat atau tumbuhan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, legenda adalah cerita yang berisikan tentang sejarah ( Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia , 2007 :156 ).
2. Jenis- Jenis Legenda
Jan Haroid Brunvald menggolongkan legenda menjadi empat kelompok, yaitu legenda keagamaan, legenda alam gaib, legenda perseorangan, dan legenda setempat.
1. Legenda Keagamaan
Legenda yang ceritanya berkaitan dengan kehidupan keagamaan disebut dengan legenda keagamaan.Legenda ini misalnya legenda tentang orang- orang tertentu.Kelompok tertentu misalnya cerita tentang para penyebar Islam di Jawa.Kelompok orang-orang ini di Jawa dikenal dengan sebutan walisongo. Mereka adalah manusia biasa, tokoh yang memang benar-benar ada, akan tetapi dalam uraian ceritanya ditampilkan sebagai figur-figur yang memiliki kesaktian. Kesaktian yang mereka miliki digambarkan diluar batas – batas manusia biasa.
Sebutan wali songo ada yang menafsirkan bukan berarti sembilan dalam arti jumlah, tetapi angka sembilan itu sebagai angka sakral.Penafsiran ini didasarkan pada kenyataan adanya para tokoh penyebar Islam yang lainnya.Mereka berada di tempat-tempat tertentu. Masyarakat setempat biasanya memandang tokoh tersebut kedudukannya sama atau sederajat dengan tokoh wali yang sembilan orang. Tokoh-tokoh tersebut seperti Syekh Abdul Muhyi,  Syekh Siti Jenar, Sunan Geseng, Ki Pandan Arang, Pangeran Panggung, dan lain-lain.

2. Legenda Alama Gaib
Bentuk kedua yaitu legenda alam gaib.Legenda ini biasanya berbentuk kisah yang dianggap benar-benar terjadi dan pernah dialami seseorang.Fungsi legenda semacam ini adalah untuk meneguhkan kebenaran “takhyul” atau kepercayaan rakyat.Jadi, legenda alam gaib adalah cerita-cerita pengalaman seorang dengan makhluk-makhluk gaib, hantu-hantu, siluman, gejala-gejala alam gaib, dan sebagainya.
Contoh legenda alam gaib misalnya, di Bogor Jawa Barat ada legenda tentang mandor Kebun Raya Bogor yang hilang lenyap begitu saja sewaktu bertugas di Kebun Raya.Menurut kepercayaan penduduk setempat, hal itu disebabkan ia telah melangkahi setumpuk batu bata yang merupakan bekas-bekas pintu gerbang Kerajaan Pajajaran. Pintu gerbang itu, menurut kepercayaan penduduk setempat, terletak di salah satu tempat di kebun raya.Tepatnya tidak ada yang mengetahui.Oleh karenanya, penduduk disana menasihati para pengunjung Kebun Raya, agar jangan melangkahi tempat antara tumpukan-tumpukan batu bata tua, karena ada kemungkinan bahwa di sanalah bekas pintu gerbang kerajaan zaman dahulu itu. Jika kita melanggarnya, maka kita akan masuk ke daerah gaib dan tidak dapat pulang lagi ke dunia nyata.
Contoh lainnya yaitu kepercayan terhadap  adanya hantu, gendruwo, sundel bolong serta nyi blorong.

3. Legenda Perorangan
Legenda perseorangan merupakan cerita mengenai tokoh-tokoh  tertentu yang dianggap benar-benar terjadi. Di Indonesia legenda  semacam ini banyak sekali.misalnya Sabai nan Aluih dan Si Pahit Lidah dari Sumatra, Si Pitung dan Nyai Dasima dari Jakarta, Lutung Kasarung dari Jawa Barat, Rara Mendut dan Jaka Tingkir dari Jawa Tengah, Suramenggolo dari Jawa Timur, serta Jayaprana dan Layonsari dari Bali.

4. Legenda Lokal/Setempat
Legenda lokal adalah legenda yang berhubungan dengan nama tempat terjadinya gunung, bukit, danau, dan sebagainya. Misalnya, legenda terjadinya Danau Toba di Sumatra, Sangkuriang (legenda Gunung Tangkuban Parahu) di Jawa Barat, Rara Jonggrang di Yogyakarta dan Jawa Tengah, Ajisaka di Jawa Tengah, dan Desa Trunyan di Bali (buku sejarah kelas 10 SMA, 2004).





Sejarah La Mohang Daeng Mangkona
Berdirinya kota Samarinda ini tidak luput dari jasa seseorang yang telah membangun dan membuat kota Samarinda ini menjadi hidup. La Mohan Daeng Mangkona adalah tokoh yang sangat berpengaruh mendirikan kota Samarinda. La Mohang Daeng Mangkona adalah seorang tokoh penting dalam cikal-bakal berdirinya Kota Samarinda di provinsi Kalimantan Timur saat ini. Daeng Mangkona mendirikan pemukiman di Tanah Rendah bersama rombongannya dari tanah Wajo pada tahun 1668 dan dari situlah awal mula perkembangan kota Samarinda.
La Mohang Daeng Mangkona beserta rombongan dari Wajo memilih meninggalkan kampung halamannya daripada harus tunduk pada pemerintahan kolonial Belanda yang waktu itu sudah menguasai Kerajaan Gowa akibat Perjanjian Bongaya. Daeng Mangkona memilih daerah Pulau Kalimantan dan singgah di wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura.Setelah meminta izin pada sultan Kutai waktu itu, Daeng Mangkona beserta rombongan diizinkan untuk menetap di suatu daerah bernama Tanah Rendah.Sejak saat itulah, wilayah Tanah Rendah didiami oleh Daeng Mangkona dan mengembangkan daerah Tanah Rendah menjadi sebuah pusat perdagangan maupun sebagai pelabuhan singgah.Tepatnya pada tanggal 21 Januari 1668 Kota Samarinda mulai didirikan oleh La Mohang Daeng Mangkona. 
Sekitar tahun 1668, Sultan yang di Kerajaan Kutai memerintahkan Pua Ado bersama pengikutnya yang asal tanah Sulawesi membuka perkampungan di Tanah Rendah.Pembukaan perkampungan ini dimaksud Sultan Kutai, sebagai daerah pertahanan dari serangan bajak laut asal Filipina yang sering melakukan perampokan di berbagai daerah pantai wilayah kerajaan Kutai Kartanegara.Selain itu, Sultan yang dikenal bijaksana ini memang bermaksud memberikan tempat bagi masyarakat Bugis yang mencari suaka ke Kutai akibat peperangan di daerah asal mereka. Perkampungan tersebut oleh Sultan Kutai diberi nama Sama Rendah. Nama ini tentunya bukan asal sebut. Sama Rendah dimaksudkan agar semua penduduk, baik asli maupun pendatang, berderajat sama. Tidak ada perbedaan antara orang bugis, kutai, banjar dan lainnya.
Dengan rumah rakit yang berada di atas air, harus sama tinggi antara rumah satu dengan yang lainnya, melambangkan tidak ada perbedaan derajat apakah bangsawan atau tidak, semua "sama" derajatnya dengan lokasi yang berada di sekitar muara sungai yang berulak dan di kiri kanan sungai daratan atau "rendah". Diperkirakan dari istilah inilah lokasi pemukiman baru tersebut dinamakan Samarenda atau lama-kelamaan ejaan Samarinda. Istilah atau nama itu memang sesuai dengan keadaan lahan atau lokasi yang terdiri atas dataran rendah dan daerah persawahan yang subur.



Kesimpulan dan Harapan
Kesimpulan dari semuanya adalah pendiri kota Samarinda La Daeng Mangkona adalah seorang yang rendah hati dan tidak pernah membedakan ras /  suku. Meskipun beliau adalah suku bugis namun beliau tetap menyamaratakan semua suku, bisa terlihat dari nama kota sendiri yaitu Samarinda yang berasal dari sama rendah. Suku asli beliau adalah bugis bukan berasal dari Kalimantan namun beliau tetap berusaha menjadi pemimpin yang bijaksana untuk rakyat-rakyatnya.
Harapan saya pada sejarah La Daeng Mangkona lebih dipublikasikann dan disosialisasikan kepada masyarakat agar masyarakat mengetahui sosok yang sangat berjasa pada kota Samarinda. Untuk makam La Daeng Mangkona ini semoga kedepannya lebih mendapat penanganan yang lebih baik sehingga banyak masyarakat yang berkunjung kesana.












Referensi
  • Marhijanto, Drs. Bambang. 2004. Bahasa Indonesia SMP. Surabaya: GitaMedia Press  
  • Anindita, A. 1986. Pemandu di Dunia SASTRA. Yogyakarta: Kanisius
  • Suryanto, Alex dan Haryanta, Agus. 2007. Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia. Surabaya: Erlangga
  • (Buku Sejarah kelas 10 SMA, 2004 : 20)
  • (Sejarah, 2009 : 37)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar